Kepandaian
adalah kelicikan yang menyamar,
Kebodohan
adalah kebaikan yang bernasib buruk.
-Emha Ainun Nadjib-
Kita sejak kecil sudah di doktrin
untuk menjadi orang pandai dan jangan menjadi orang bodoh. Doktrin yang kita
terima mengatakan bahwa orang pintar adalah orang yang nilai rapotnya bagus,
sedangkan orang bodoh adalah orang yang nilai akademiknya buruk. Persepsi seperti
ini masih mengakar dalam kehidupan manusia khususnya di Indonesia. Orang tua
masih sering memarahi anaknya jika nilai rapotnya merah, atau ketika anaknya
tidak bisa mengafalkan sesuatu. Padahal bodoh atau pintar tak bisa diartikan
hanya sebatas nilai. Dua kata sifat itu (bodoh dan pintar) memiliki definisi
dan makna yang sangat luas.
Apa itu bodoh?
Bodoh adalah kondisi seseorang
yang tidak mengetahui tentang sesuatu. Ya, tidak mengetahui sesuatu, bukan
tidak menguasai sesuatu ataupun karena memiliki nilai akademik yang buruk. Dari
definisi saja kita bisa memahami apa sebenarnya arti bodoh itu.
Plato, mengatakan bahwa orang bodoh
adalah orang yang pandai. Karena orang pandai pasti sebelumnya dia adalah orang
yang bodoh. Dia mengakui bahwa awalnya dirinya tidak mengetahui apapun kemudian
dia menambah wawasan sehingga dia akhirnya mengetahui. Sedangkan orang yang
pandai, menurut Plato justru adalah orang yang bodoh. Karena mereka tidak
mengakui bahwa dirinya bodoh malah justru membangga-banggakan akan kepintarannya.
Inilah “Kebodohan orang-orang pandai”.
Imam Syafi’i, seorang ulama yang
terkenal sangat alim, cerdas, hafal Al-Qur’an ketika usia 9 tahun masih
mengganggap dirinya bodoh. Beliau pernah berkata, “Ketika bertambah ilmuku,
bertambah tahu pula aku akan kebodohanku”. Sekelas ulama mazhab yang
keilmuannya luar biasa masih menganggap kalau dirinya bodoh ketika beliau
mendapati ilmu baru. Sedangkan manusia zaman sekarang terkadang merasa gengsi
untuk berkata “tidak tahu” sehingga ia akan mencoba menjawab pertanyaan orang
lain dengan tanpa ilmu. Sehingga bisa berakibat pemahaman yang salah apalagi
jika yang memberi jawaban itu adalah orang terpandang.
Fenomena mencaci dengan sebutan “bodoh”,
“goblok”, dan “idiot” pun sudah menjadi budayanya orang Indonesia. Segitu mudahnya
manusia mengucapkan kata itu ketika melihat perilaku konyol dari orang-orang
tertentu, kemudian menghina orang lain ketika mendapat hasil/nilai yang lebih buruk
darinya. Perilaku ini sering kita lihat
bahkan sejak kecil. Anak SD menghina teman sekelasnya, ketika temannya
melakukan kesalahan dalam bermain bersama pun, mereka acapkali mengucapkan kata
tersebut. Sungguh kebiasaan yang memilukan.
Orang bodoh, penulis anggap
adalah seorang pahlawan. Mengapa? Karena tidak akan ada orang pintar kalau
tidak ada orang bodoh. Ini jika kita menggunakan persepsi bahwa di dunia ini
ada orang yang bodoh dan ada yang pintar. Sejatinya, tidak ada orang yang
bodoh. Setiap orang memiliki kelebihan dalam bidangnya masing-masing. Anggapan
pintar itu terjadi karena manusia hanya melihat kelebihan yang “terlihat” saja
secara umum. Misalnya dia mendpat nilai bagus saat ujian ataupun dia mampu
menghafal pelajaran dengan sempurna. Sedangkan orang yang biasa saja atau
bahkan yang nilai dan hafalannya buruk akan dianggap bodoh. Padahal bisa jadi
dia lebih pandai dalam suatu bidang tertentu.
Tahu para pemain bola internasional??
Mereka sangat terkenal dengan kehebatan bermain bola nya, padahal penulis yakin
tak banyak dari mereka yang jago matematika, apakah mereka disebut orang
bodoh?? Tidak kan?? Itulah penyakit persepsi masyarakat kita saat ini. Justru
ketika ada orang yang terlalu “memaksakan diri” untuk ahli dalam segala bidang,
penulis menganggapnya dia lah yang bodoh. “Orang pandai adalah yang
mengetahui banyak tentang sedikit hal, bukan mengetahui sedikit tentang banyak
hal”.
Penulis jadi teringat suatu
postingan di media sosial tentang seorang guru yang mengucapkan selamat kepada
orang tua muridnya karena anak-anakya telah menyelesaikan ujian akhir. Beliau berkata
begini:
Ujian anak Anda telah
selesai.
Saya tahu Anda cemas
dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya.
Tapi. Mohon
diingat..
Di tengah-tengah
para pelajar yang menjalani ujian itu,
Ada calon
Seniman yang tidak perlu mengerti Matematika,
Ada calon Pengusaha
yang tidak butuh pelajaran sejarah atau sastra,
Ada calon Musisi,
yang nilai kimia nya tak akan berarti,
Ada calon Olahragawan,
yang lebih mementingkan fisik daripada fisika,
Ada calon Photografer
yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art yang berbeda yang tentunya
ilmunya bukan dari sekolah ini.
Sekiranya anak anda
lulus menjadi yang teratas, HEBAT!
Tapi bila tidak,
mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka.
Katakan saja, “tidak
apa-apa, itu hanya sekedar ujian”
Anak-anak itu
diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar lagi dalam hidup ini.
Katakan pada
mereka, tidak penting berapapun nilai ujian mereka,
Anda mencintai
mereka dan tak akan menghakimi mereka,
Sebuah ujian
atau nilai rendah takkan bisa mencabut impian dan bakat mereka,
Berhentilah
berpikir bahwa hanya dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.
Hormat saya,
Wali Kelas
Ketika membaca postingan ini
penulis merasa terenyuh melihat begitu bijaknya seorang guru. Oleh karena itu,
janganlah kita mencaci mereka-mereka yang “terlihat” kurang dari pada kita karena
setiap orang dianugerahi kelebihan yang berbeda-beda. Tuhan Maha Adil.
Salam People Power
Keren euyy
BalasHapus